Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Batas Usia: Perlindungan untuk Anak di Media Sosial


Anak-anak generasi Alpha (kelahiran 2010 - 2025) lebih cepat mengenal TikTok dibandingkan membuka halaman buku. Bahkan, ada yang sudah bisa swipe layar sebelum bisa mengatakan “ayah”. Seakan-akan dunia digital saat ini sudah mendahului realita di dunia nyata. Tapi pertanyaannya, seberapa siap anak-anak kita untuk hidup dengan keadaan yang serba digital ini?

Pemerintah Indonesia baru-baru ini menggagas kebijakan perihal batas usia pengguna media sosial, yaitu maksimal di bawah 18 tahun. Sesuai dengan definisi anak dalam UU No. 35 Tahun 2014. Tujuannya memang sederhana, yaitu untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial yang kontennya tidak dapat di filter dengan maksimal, tentu ini merupakan hal yang sulit untuk dilakukan pemantauan setiap waktunya. 
Apakah aturan ini sudah cukup? lantas bagaimana sikap kita menyikapi fenomena ini?

Media sosial tentunya dapat menjadi taman bermain yang menyenangkan untuk anak-anak, disana ia dapat belajar, bersosialisasi, dan berekspresi. Namun taman tersebut dapat berubah cepat menjadi hutan belantara tanpa kompas moral. Dikarenakan terdapat banyak konten negatif seperti kekerasan, pornografi terselubung, hoaks, dan standar kecantikan yang sangat mudah diakses bahkan hanya dengan satu kali swipe.

Jika kita berpikir media sosial isinya hanya tempat joget-joget atau lihat kucing lucu, ya itu baru permukaannya aja sih. Di balik algoritma yang seolah tahu isi hati dan keinginan penggunanya, ada dunia yang bisa membentuk cara berpikir dan rasa percaya diri anak-anak kita tanpa kita sadari. Lalu apakah anak-anak yang masih tumbuh akalnya ini siap menghadapi over informasi tersebut?

Dalam Islam, anak merupakan amanah, bukan hanya sekadar miniatur orang.
"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…"
(QS. At-Tahrim [66]: 6)

Ayat ini menjadi pengingat bagi orangtua, bagaimana yang seharusnya menjaga keluarga bukan hanya dari bahaya fisik, tetapi juga bahaya ideologis, mental, dan moral, termasuk dari paparan media sosial yang membentuk cara berpikir.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah..." (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang membentuk anak itu menjadi baik atau tidak adalah lingkungan dan asupan nilai yang mereka terima dari lingkungannya. Kalau sejak kecil sudah terbiasa melihat konten kekerasan atau gaya hidup yang jauh dari nilai agama, bukan tidak mungkin nilai fitrah itu akan sedikit demi sedikit terkikis.

Saat ini melihat anak-anak yang sudah main media sosial sejak usia 4 tahun bukan menjadi hal yang mengherankan. Beberapa diantaranya malah sudah memiliki akun lebih dari satu, kadang lebih banyak dari jumlah gigi mereka. Saat ini yang menjadi persoalan adalah yang mana usia mental dan emosional mereka belum siap untuk beradaptasi dengan konten yang dapat mengganggu perkembangan psikologisnya.

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk nikah. Kemudian jika kamu telah mengetahui kecerdasan pada mereka, maka serahkanlah harta kepada mereka…" (QS. An-Nisa [4]: 6)

Ayat ini memang disebutkan "anak yatim" namun pelajaran yang terkandung adalah bagaimana pentingnya menunggu kematangan berpikir, dan bertanggung jawab sebelum memberi akses terhadap hal-hal besar, termasuk tanggung jawab di ranah sosial.

Media sosial dengan segala berbagai macam pengaruhnya merupakan salah satu “harta” zaman modern yang tak bisa sembarangan diberikan. Maka wajar jika pemerintah dan masyarakat harus mulai berpikir ulang soal siapa yang pantas masuk ke dalam dunia ini.

Aturan batas usia ini menurut saya merupakan langkah awal yang baik. Tapi seperti pagar tanpa CCTV, kalau tidak disertai pengawasan dan bimbingan tetap aja akan bisa dibobol. 

Setelah adanya batasan, orang tua yang merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Jangan hanya ngomel setiap detik ketika anak keasyikan nonton YouTube, tapi dampingi sehingga menjadi tau apa yang mereka tonton. Apa yang mereka tonton kita lakukan diskusi, sehingga mereka terbuka untuk bercerita bukan yang takut disalahkan ketika ingin bercerita.

Pemerintah dituntut harus tegas namun juga harus bijak. Bagaimana agar platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube perlu diajak kolaborasi membuat ekosistem yang ramah dengan kehadiran pengguna dari kalangan anak-anak. Bisa dengan sistem verifikasi usia, filter konten, hingga kampanye edukasi digital yang menyenangkan.

Seharusnya anak-anak tak tumbuh besar oleh algoritma yang hanya peduli dengan jumlah view dan like. Mereka selaku pembuat konten juga perlu sedikit berempati menggunakan akal sehat untuk membuat konten-konten yang mendidik dari segi manapun.

Mulai saat ini mulailah lebih intens menjaga anak-anak/adik/keponakan yang masih dibawah usia yang belum saatnya untuk intens di dunia digital, bukan hanya dunia nyata yang keras, tapi kejahatan di dunia maya tak kalah kejam. Karena perlindungan terbaik bukan datang dari filter aplikasi. 


_____
Semoga bermanfaat

1 comment for "Batas Usia: Perlindungan untuk Anak di Media Sosial"

  1. هاذي الايه (كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ) . ناقصه شغله , المفروض يضاف عليه او جيرانه يكفرانه

    ReplyDelete