Jika tidak nyaman bekerja, apa lebih baik resign aja?
.png)
Di tengah budaya hidup yang dituntut dengan kerja keras, sehingga menjadi umum dengan kegiatan di aktivitas malam hari (begadang) dan mengkonsumsi kopi sachet tiga kali sehari, namun kita mulai lupa bahwa feel-good alias merasa baik, nyaman, senang, rileks, ternyata justru dapat menjadi fondasi produktivitas yang lebih tahan lama dibandingkan harus ngotot bekerja sampai overtime.
Produktivitas sering dikaitkan dengan hal-hal yang bikin jidat berkerut: manajemen waktu, Key Performance Indikator, Google Calendar yang penuh dengan warna-warni dengan berbagai macam pula jenis kegiatannya, dan to-do list yang isinya cuma hal-hal yang “belum dikerjakan”. Padahal manusia tidak layaknya robot, dan jika bekerja terus-terusan tanpa adanya jeda, tanpa senyum, tanpa merasa dihargai, ya akhirnya akan jatuh sakit juga.
Ali Abdaal yang merupakan mantan dokter, sekarang beralih menjadi konten kreator sekaligus penulis buku Feel-Good Productivity menawarkan sudut pandang yang terdengar mustahil tapi masih masuk akal. "Produktivitas itu seharusnya membuat kita merasa lebih hidup, bukan malah seperti mayat hidup."
Ia menyebut tiga hal yang dapat membuat manusia merasa enjoy dalam melakukan aktivitasnya: 1) Play, 2) Power, dan 3) People. Dalam Bahasa Indonesia kira-kira berarti main-main, merasa memiliki kemampuan, dan merasa terhubung dengan orang lain.
-
Play, bukan berarti bermain Mobile Legends sambil Zoom meeting. Tapi bagaimana menemukan unsur kesenangan dalam aktivitas yang dilakukan. Contohnya kalau kerjaannya kayak main game, ada tantangan, ada reward, ya kita tentu akan cenderung mau bermain terus.
-
Power, perasaan mampu mengontrol dan merasa bisa. Mengerjakan sesuatu yang kita bisa dan membuat bangga, bukan hanya menjadi budak deadline di akhir-akhir target.
-
People, ikatan hubungan sosial yang solid. Memiliki teman kantor yang nggak toxic, atasan yang kerjaannya bukan hanya marah-marah doang, dan obrolan-obrolan receh di jam istirahat yang membuat pikiran tetap waras.
Kalau tiga hal ini ada, otak akan langsung auto connect: “Oke, walaupun ini kerjaan berat, tapi karena aku happy... Gaskeunnnn!!”
Salah satu jebakan zaman sekarang adalah produktivitas instan. Mau semuanya cepat, hasil besar, followers naik, cuan mengalir. Tapi jarang yang nanya: “Kalau kayak gini terus, kuat sampai umur berapa?”
“Merasa baik saat produktif” bukan berarti males-malesan. Justru ini tentang bagaimana menciptakan ritme kerja yang membuat kita tetap konsisten, tanpa harus menderita tiap hari. Ini bukan seperti lari cepat, tapi seperti maraton santai, bisa istirahat, bisa sambil nonton stand-up Raditya Dika biar nggak stres.
Kunci dari itu semua adalah keselarasan, antara kerjaan dengan prinsip yang kita miliki. Kalau tiap pagi bangun dan merasa, “Oke, gue mau ngerjain ini karena ini penting buat gue,” maka produktivitas datang bukan karena paksaan, tapi karena kita prinsip diri kita pengen melakukan itu.
Ali Abdaal menulis, “We work best when we feel good.” Dan itu bukan omong kosong. Penelitian psikologi juga mendukung bahwa mood yang baik akan membuat lebih fokus, lebih kreatif, dan lebih tahan banting terhadap kerjaan.
Jika tidak merasa baik, apa kita harus resign?
Nggak segitunya, Bro... Tapi yang mungkin bisa kamu lakukan adalah mulai dari hal kecil. membuat urutan kerja yang kamu suka, ngobrol sebentar sama rekan kerja yang tidak menyebalkan, atau mengerjakan bagian kerjaan yang menurut kamu lebih enjoy di awal. Karena merasa baik itu bukan hanya tentang liburan-liburan ke tempat-tempat wisata seperti Bali misalnya, tapi ini tentang bagaimana kamu membangun ruang kerja yang manusiawi dari dalam hati.
Yang bisa membuat kamu bertahan tidak hanya tentang gaji atau promosi, tapi juga bagaimana kamu merasa pantas untuk bahagia saat bekerja.
Post a Comment for "Jika tidak nyaman bekerja, apa lebih baik resign aja?"