Merasa gagal karena Tak seproduktif teman-teman
.png)
Memilih untuk menjadi mahasiswa di era modern menjadi sebuah dilema baru, karena merasa gagal tak hanya tentang nilai akademik. Seorang mahasiswa semester akhir (sebut saja namanya 'Budiono'), seketika menutup laptopnya sambil menahan napas karena tugas yang dikerjakan sudah buntu jalannya. Beralih menatap layar Instagram, terlihat teman-temannya satu per satu membagikan “pencapaian”, ada yang sudah menyelesaikan bab 5 skripsi, ada yang memamerkan artikel jurnal yang sudah diterbitkan, bahkan ada yang merekam kegiatannya yang sedang mereview jurnal sambil menyeruput kopi dingin. Sementara ia? baru memulai paragraf awal pada pendahuluan, dengan semangat ingin merekam kegiatannya. Namun seketika kebanggaannya itu sirna, disebabkan “Aku masih kalah produktif.”
Sebagai seorang mahasiswa, setiap harinya pasti tak akan luput dari sosial media Instagram untuk melihat prestasi ataupun aktivitas yang dilakukan orang lain. Notifikasi yang berbunyi bagaikan alarm tak kasat mata, memaksa jari untuk membukanya tanpa henti. Yang dulu hanya dianggap konten-konten berisikan; gambar secangkir kopi yang estetik atau outfit yang digunakan untuk kampus, kini sudah berganti menjadi kumpulan produktivitas.
Bukan sekadar cuitan yang sedang viral. Dalam sebuah survei di kalangan 10 mahasiswa, 80 % mengaku merasa kurang “memiliki nilai” setelah melihat postingan temannya yang sudah banyak melakukan hal-hal baru dibanding dirinya yang masih tertinggal. Hal tersebut disebabkan selalu melihat berbagai postingan sebelum memulai mengerjakan tugas, seolah-olah menjadi indeks standar kesuksesan.
Bagi Budiono, tentu hari-hari kuliahnya menjadi berubah seperti berlomba dengan bayang-bayang orang lain, jika temannya mampu, mengapa ia tidak? Perbandingan ini mendoktrinnya sebagai sebuah kompetisi, “siapa yang paling terlihat sibuk, dialah pemenangnya.” Padahal di balik layar yang dibagikan orang lain itu, seringkali tersembunyi kelelahan, ekspetasi yang terlalu dipaksakan, dan konflik batin yang tak terlihat oleh orang yang membagikan postingan tersebut.
Perasaan gagal akan selalu muncul ketika menerima hasil kita yang tak sesuai dengan ekspektasi. Ketika melihat postingan teman, "Apa aku kurang pintar? Apa aku kurang rajin?. Padahal kesulitan dalam memahami materi pembelajaran atau mengerjakan tugas, tak selalu menjadi standar kemampuan intelektual, kadang disebabkan kelelahannya otak, gangguan konsentrasi atau bahkan kecemasan.
Pertanyaan-pertanyaan yang hadir tersebut akan semakin memperburuk perasaan sendiri, bahwa apa yang sudah kita capai saat ini merupakan sebuah kebetulan atau belum pantas.
Langkah awal yang harus dilakukan adalah menciptakan “zona aman” tanpa Sosial Media. Misalnya menerapkan kebijakan ponsel terkunci saat belajar selama 60–90 menit. Sehingga terhindar dari godaan notifikasi yang muncul, sehingga dapat menemukan konsentrasi lebih mendalam untuk memahami materi. Setidaknya berfungsi menciptakan ruang refleksi, di mana proses belajar menjadi fokus tujuan utama.
Waktu Produktivitas tiap orang Berbeda
Kecenderungan menjadi seorang mahasiswa, selalu gagal dalam membuat plan (harian/mingguan/bulanan). Meskipun memiliki pekerjaan paruh waktu, tentu masih dapat disesuaikan dengan kegiatan rutinitas pribadi ataupun kegiatan organisasi kampus. Dengan begitu setiap target akan terasa lebih tercapai dan relevan sesuai dengan kemampuan diri bukan hanya sekadar mengikuti logika "teman lebih produktif."
Hindari melakukan perbandingan yang muncul disebabkan setiap sebelum mengerjakan tugas selalu stalking sosial media orang lain, mulailah dengan menikmati secangkir kopi, di pagi hari, ataupun malam hari.
Jika dipikir ulang, waktu produktivitasnya orang itu berbeda-beda. Ada yang merasa fresh mengerjakan tugas pada pukul 5 pagi setelah melakukan ibadah shalat subuh, lalu setelahnya membaca materi pelajaran yang lain sebelum berangkat kuliah. Ada pula yang baru bisa fokus setelah meneguk 2 galon air putih, karena jika tidak meminum air putih otak rasanya "hang, dibaca: heng" kalau dipaksa.
Begitupun soal cara belajar tiap orang. Ada yang memberikan warna penanda dengan spidol stabilo, ada pula yang lebih suka menulis ulang pada selembar kertas, ada pula yang lebih memilih untuk memotretnya menggunakan kamera ponsel. Bedanya? Jika menggunakan menggunakan catatan secara ingatan dapat memperkuat, namun masih berantakan secara penyimpanan (bisa hilang).
Produktivitas bukan semata soal siapa yang paling cepat, siapa yang sudah siap, ataupun siapa yang paling mantap, melainkan tentang siapa yang mampu melewati dan bertahan di setiap proses panjangnya. Sehingga kalau besok ada yang membuka pembicaraan "Aku sudah selesai bab Tiga", kita dengan bangga dapat menyimak dan merespon dengan hal positif untuk diri bahwa itu bukanlah tolak ukur mutlak sebuah keberhasilan. Dan jika aku sendiri sudah berhasil menyusun beberapa paragraf, aku tak lagi menyesal karena belum secepat mereka, karena setidaknya ada proses yang sesuai dengan ritmen aku inginkan, bukan mengikuti ritme orang lain.
Pada akhirnya, penting bagi setiap mahasiswa untuk menciptakan kasih saya terhadap diri sendiri. Ketika merasa gagal, jangan menghakimi diri sendiri, Kenapa aku bodoh? Kenapa aku lambat?, tetapi akui kegagalan kecil itu merupakan hal yang wajar dari sebuah pembelajaran. Dengan menerapkan pola pikir Growth Mindset, setiap hambatan yang dialami akan dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk belajar, bukan indeks penilaian kemampuan diri.
Post a Comment for "Merasa gagal karena Tak seproduktif teman-teman"