Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Trend Paylater: "Demi Gaya Hidup" Menang atas Logika Finansial

Seseorang membeli gadget terbaru dengan seharga belasan juta, padahal gaji bulanannya bahkan tak sampai separuh dari harga barang tersebut. Bagaimana caranya? Bukan sihir, bukan pula warisan mendadak. Cukup klik “Bayar Nanti” dan semua tampak baik-baik saja... "untuk sementara".

Saya menyadari ada sebuah fenomena sosial-ekonomi yang makin meresap ke dalam kehidupan masa kini, yaitu kebiasaan konsumsi berbasis paylater.

Tampak luar seperti inovasi cemerlang, yang mana sistem pembiayaan instan memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk membeli dulu, bayar belakangan. Tapi jika kita dilihat lebih dalam dari data mikro perilaku konsumen, sampai implikasi makro terhadap stabilitas keuangan rumah tangga, cerita ini jadi jauh lebih kompleks, dan sedikit menegangkan.

"Paylater" Solusi atau justru Sumber Masalah Baru?

Layanan paylater atau pembiayaan instan tanpa kartu kredit bukanlah hal baru. Namun dalam 2–3 tahun terakhir, lonjakan penggunaannya di Indonesia sangat signifikan. Menurut laporan dari Bank Indonesia dan OJK, penggunaan layanan paylater meningkat drastis, terutama pasca pandemi, di mana daya beli masyarakat menurun tapi keinginan konsumsi tetap tinggi.

Alasan utamanya? Kemudahan akses dan tidak sulitnya pengurusan serta persyaratan. Cukup KTP, nomor HP, dan akun e-commerce yang aktif, seseorang sudah bisa memiliki utang hingga jutaan rupiah. Bagi banyak orang, ini seperti surga finansial.

Namun di balik kemudahan itu tersembunyi risiko laten yang besar "masyarakat berutang tanpa memahami konsekuensi finansial jangka panjangnya". Bunga yang tinggi, denda keterlambatan, dan perilaku konsumtif yang tidak dikendalikan adalah kombinasi yang bisa menjatuhkan kondisi keuangan siapa pun, apalagi yang tidak memiliki pemahaman literasi finansial yang memadai.

Apa yang Sebenarnya Terjadi di Laporan Keuangan Pribadi?

Mari kita uji skenario sederhana. Jika seorang pengguna paylater memiliki penghasilan Rp5 juta per bulan menggunakan layanan paylater untuk membeli barang senilai Rp3 juta, dengan tenor 3 bulan. Rata-rata bunga paylater di Indonesia adalah 2.5–4% per bulan.

Contohnya:

  • Barang senilai Rp3 juta, cicilan 3 bulan

  • Bunga 3% per bulan → total bunga ±Rp270.000

  • Cicilan per bulan: ±Rp1.090.000

Dengan cicilan hampir Rp1,1 juta per bulan, pengguna itu telah mengalokasikan 22% dari penghasilannya untuk satu cicilan konsumtif. Jika ia memiliki dua layanan paylater aktif, porsi utang bisa mencapai 40–50% dari penghasilan, angka yang sangat tidak sehat secara keuangan.

Saya biasa percaya bahwa angka yang berbicara lebih jujur dari kata-kata. Tapi dalam kasus paylater, justru narasi sosial yang memperkuat fenomena ini. Media sosial penuh dengan gaya hidup instan; bisa liburan ke luar negeri, gadget terbaru, fashion high-end dan semua itu terlihat “terjangkau” jika dibeli dengan cicilan ringan.

Tekanan sosial ini membuat banyak orang mendefinisikan kesuksesan lewat konsumsi, bukan melalui produktivitas. Seseorang yang tampil keren di Instagram bisa jadi sedang menghindari tagihan yang sudah jatuh tempo. Inilah ketika logika keuangan kalah oleh ilusi gaya hidup.

Dari tekanan tersebut tidak hanya berdampak ke kondisi finansial, tapi juga ke psikologis peminjam, seperti stres karena tumpukan tagihan, rasa bersalah karena tidak mampu membayar tepat waktu, hingga perasaan gagal meski pendapatan tetap mengalir.

Bagaimana Kita Bisa Merespons?

Saya percaya bahwa solusi tidak selalu harus datang dari pelarangan, tetapi dari penguatan literasi dan kebijakan yang cermat.

1. Pengetahuan Keuangan

Sudah saatnya edukasi tentang cash flowutang sehat, dan manajemen risiko pribadi dipelajari. Jika seseorang bisa memahami konsep bunga dan rasio utang sehat sejak remaja, ini akan dapat membuatnya lebih siap menghadapi godaan gaya hidup yang konsumtif.

2. Regulasi Lebih Ketat

OJK sudah mulai menertibkan layanan pinjol dan paylater, namun masih banyak celah. Verifikasi kemampuan bayar pengguna seharusnya diperketat, transparansi bunga dan biaya harus diperjelas, dan plafon utang harus dikaitkan dengan profil risiko pengguna, bukan sekadar meningkatkan keamanan data transaksi e-commerce.

3. Perusahaan Teknologi Bertanggung Jawab

Platform e-commerce dan fintech tidak bisa hanya mengejar volume transaksi. tetapi juga harus turut serta dalam edukasi, menyediakan fitur pelacakan utang, pengingat tagihan, hingga fitur jeda bagi pengguna yang sudah kelelahan berutang.

Paylater bukanlah musuh, melainkan layaknya seperti sebuah alat. Seperti pisau dapur  yang bisa digunakan untuk memasak, bisa juga untuk menyakiti diri sendiri.

Pertanyaannya "sejauh mana masyarakat siap menggunakan alat itu dengan bijak?"

Hidup bukan tentang “beli sekarang bayar nanti”, tapi tentang “siapkan sekarang untuk hidup yang lebih baik nanti.”



_____

Semoga bermanfaat

Post a Comment for " Trend Paylater: "Demi Gaya Hidup" Menang atas Logika Finansial"