Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mau Senang, Mau Menang, Mau Kenyang


Penderitaan tidak selalu datang dalam bentuk luka fisik atau kehilangan sesuatu. Terkadang penderitaan justru muncul dari keinginan yang terlihat baik; keinginan bahagia, keinginan menang, keinginan cukup. Saat semua itu menjadi sebuah keharusan pokok yang harus terwujud, bukan lagi menjadi pilihan, kita justru akan mulai merasa lelah. Bukan lelah karena terlalu sedikit yang dimiliki, melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikejar.

Mau Senang: Kewajiban Bahagia yang Melelahkan

Ketika membuka media sosial, kita disambut dengan kalimat-kalimat yang terdengar positif: “Kamu wajib bahagia,” “Healing adalah hak semua orang,” Kaya dalam sehari? Bisa, asal mindset kamu benar.”

Bahagia yang dulunya bersifat personal, kini berubah menjadi tuntutan publik. Hidup yang baik seakan-akan adalah hidup yang harus selalu penuh dengan senyuman dan penuh pencapaian. Tetapi kita lupa bahwa kesedihan, kekalahan, dan kesendirian juga bagian dari kehidupan.

Tubuh dan jiwa manusia bukan dirancang untuk selalu bahagia. Tubuh juga membutuhkan ruang untuk merasakan kecewa, gagal, marah, dan terluka. Namun narasi-narasi yang diterima dari sosial media menolak itu semua. Mengakibatkan generasi "terdoktrin" mudah merasa bersalah hanya karena "sedang tidak" merasakan bahagia.

Bahagia pada titik tertentu menjadi semacam pekerjaan, dan karena itu pun kita menjadi lelah untuk menjalani hari-hari.

Kita selalu ingin Menang, Hidup selalu Berkompetisi.

Waktu kecil kita ingin menang lomba 17 Agustus, setelah dewasa keinginan untuk menang itu tidak hilang, ia hanya berganti bentuk.

Menang, bagi orang yang sudah menikah.
Menang, bagi orang yang memiliki pekerjaan bagus.
Menang, ketika memiliki anak yang bisa hafal Qur’an dan ranking satu.
Menang, ketika memiliki bisnis yang katanya “cuannya ngeri-ngeri sedap.”

Jika kalah dalam semua itu, merasa kehidupan tidak adil.

Leon Festinger, merupakan seorang psikolog asal Amerika. Dalam teorinya Social Comparison Theory  dikemukakan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai cara untuk menilai dirinya sendiri. Hanya saja jika kita mengambil contoh dari konten-konten di media sosial, tentu tidak bisa digunakan sebagai alat ukur yang sehat, justru menjadi alat untuk menysiksa kemampuan diri.

Misal: seseorang yang membuka Instagram, lalu melihat postingan teman berada di Swiss, tersenyum di depan pemandangan yang sejuk, nyaman dan tentram. Seketika merenung dengan keadaan dompet yang sedang berbaris parang. Padahal beberapa menit sebelum melihat postingan tersebut, suasana hati baik-baik aja,  eeehhh setelah melihat malah merasa rendah diri, kalah, dan tertinggal.

Masalahnya bukan pada Swiss atau Uang yang terdapat pada dompet, melainkan karena kita menjalani hidup orang lain, bukan hidup yang ingin kita jalani.

Rasa lapar yang tak pernah Usai

Lapar itu identik dengan keinginan untuk makan, berbeda dengan hari ini, lapar sudah diartikan dengan keinginan validasi dari orang lain.

Kita membeli baju bukan karena tidak punya, tapi karena ada diskon 60%.
Kita mengganti gadget bukan karena sudah rusak, tapi karena keluaran terbaru.
Kita scroll e-commerce tengah malam bukan karena perlu sesuatu, tapi karena sedang bosan.

Apa yang kita lakukan bukan lagi tentang kebutuhan.

Fenomena ini disebut sebagai hedonic treadmill, kondisi di mana kepuasan menjadi standar baru yang harus dikejar. Setiap kebahagiaan hanya memberi lonjakan sesaat kemudian langsung turun setelah beberapa jam. Kita kenyang tetapi tidak pernah cukup. Kita merasa penuh, tapi tetap hampa. 

Keinginan itu Wajar, bukan untuk Dipaksa

Kita ingin bahagia apakah salah? ingin berhasil apakah salah? ingin menjalani hidup yang slow-living apakah salah?

Tidak ada yang salah dengan ingin bahagia.
Tidak keliru jika ingin berhasil.
Tidak pula berdosa kalau ingin hidup nyaman.

Namun masalahnya itu adalah ketika keinginan-keinginan tersebut menjadi kewajiban, menjadi beban yang ditumpuk, menjadi standar ukuran terhadap dirinya sendiri. Seolah-olah hidup yang tidak bahagia adalah jenis hidup yang gagal, seolah-olah kalah berarti tidak berguna, seolah-olah hidup yang sebatas cukup adalah bentuk dari menyerah.

Padahal kebahagiaan yang sah itu lahir bukan dikarenakan kejar-kejaran dengan ekspektasi, tapi dari keberanian untuk berdamai dengan realita.

Mau senang? Silakan. Tapi jangan takut dengan kesedihan.
Mau menang? Itu baik. Tapi jangan takut dengan kekalahan.
Mau kenyang? Itu manusiawi. Tapi belajar juga agar merasa cukup.

Karena hakikatnya kita ini adalah manusia, makhluk yang rapuh, terbatas, namun penuh dengan kemungkinan. Bukan seperti algoritma-algoritma sosial media yang harus selalu stabil.



_____

Semoga bermanfaat

Post a Comment for "Mau Senang, Mau Menang, Mau Kenyang"