Adab Dulu, Ilmu Kemudian: Masih Perlu?
Gelar lebih dilihat daripada sikap, kepandaian lebih dicari daripada kebijaksanaan. Apakah Adab dulu, ilmu kemudian, masih relevan?
Ilmu bisa dicari dengan satu kali pencarian, sertifikasi bisa dibeli, diskusi bisa diatur agar menang bukan agar mengerti. Namun dengan seluruh kemajuan tersebut ada sesuatu yang pelan-pelan hilang dari cara kita belajar: rasa hormat.
Mengapa Adab Diletakkan Sebelum Ilmu?
Berbicara tentang Adab yang harus diketahui bahwasa bukan hanya soal sopan santun, juga bukan pertanyaan basa-basi. Adab merupakan pondasi batin ketika menerima dan memperlakukan ilmu. Dalam tradisi keilmuan Islam klasik (periode 650 - 1258 M) adab ibaratkan sebuah pintu sebelum memasuki rumah "ilmu".
Imam Malik yang seorang ahli hadits pernah menolak menjawab pertanyaan penanya, hanya karena orang tersebut tidak duduk dengan hormat. “Ilmu tidak akan masuk ke hati orang yang Angkuh”. Hari ini kita justru hidup dalam budaya intelektual yang dipenuhi dengan perdebatan saling menyela, dan komentar yang tak lagi pada tempatnya.
Seseorang bisa lulus doktor tanpa perlu belajar menundukkan hati. Seseorang bisa meraih profesor namun tidak mampu mengelola emosi dalam diri.
Terlihat Lemah, Tapi Menyelamatkan
Adab itu tidak terlihat berkilauan seperti emas atau permata. Adab itu tidak memukau seperti retorika susunan kata-kata atau pengalaman kerja dengan jabatan tinggi yang tertulis di CV. Adab itu menjaga manusia agar tetap menjadi manusia, yang membuat seseorang itu sadar bahwa ilmu bukan untuk disombongkan.
Dengan adab akan membuat seseorang menunda berbicara demi mendengar. Dengan adab seseorang akan banyak menahan untuk mengoreksi agar dapat lebih memahami. Diam bukan karena tidak tahu, tapi karena bukan saatnya untuk berbicara.
Bagaimana jika tanpa adab? ilmu yang dimiliki akan menjadi liar, dan melukai. Dengan ilmu tanpa adanya adab, dipakai untuk menertawakan yang belum tahu, digunakan sebagai alat untuk mempermalukan, bukan mencerahkan orang lain.
Kita sering bangga dengan generasi yang “berani speak up” tapi lupa bahwa keberanian juga harus itu harus dibarengi dengan sikap memahami.
Apakah masih perlu adab di zaman yang serba cepat dalam memperoleh informasi?
Tergantung, apakah kita masih ingin menghasilkan manusia, atau sekadar mesin penghafal?
Jika pendidikan hanya dilihat sebagai peluang menuju karier dan gaji, tentu adab akan tampak seperti perhiasan yang tak perlu. Tapi jika pendidikan itu dilihat sebagai proses untuk menjadi pribadi yang utuh, yang tahu tempatnya, yang sadar batas dirinya, yang jernih dalam berpikir dan bijak dalam bertindak, maka adab adalah jantung dari semuanya itu.
Tanpa dibarengi dengan adab, seseorang boleh tahu banyak hal tapi tidak akan tau bagaimana meletakkan pengetahuan yang didapatkan itu dalam kehidupan. Tau “apa itu keadilan” tapi gagal bersikap adil pada orang tuanya. Bisa mengerti “apa itu cinta” tapi mencintai malah dengan cara yang menyakiti.
Pada intinya, jawaban dari pertanyaan “Adab dulu, ilmu kemudian, apakah masih perlu?” bukan untuk dicari di ruang kelas atau seminar. Tapi di hati kita sendiri. Apakah kita masih ingin belajar agar menjadi, atau sekadar agar terlihat?
Kalau jawabannya adalah “agar menjadi manusia utuh”, maka adab bukan sekadar perlu, bahkan sangat mendesak. Karena ilmu yang tinggi tanpa adab hanya akan menjadikannya semakin jauh dari kebijaksanaan.
_____
Semoga bermanfaat
Post a Comment for "Adab Dulu, Ilmu Kemudian: Masih Perlu?"