Kebahagiaan Sejati: Tidahanya tentang Harta
.png)
Apakah bahagia harus selalu tentang Harta?
Bahagia merupakan kondisi perasaan atau pikiran merasa senang, nyaman, dan tenang. Puncak kebahagiaan seseorang itu adalah ketika berjumpa kepada sesuatu yang didambakannya. Dalam Islam di ibaratkan seorang hamba yang bertemu dengan Allah ketika di akhirat kelak.
Kebahagiaan menjadi sesuatu yang akan selalu dicari-cari keberadaannya oleh orang-orang saat ini, dan banyak orang yang merasa kesulitan untuk kebahagiaan tersebut. Dan tak banyak pula yang merasa bahwa kebahagiaan itu merupakan sebuah angan-angan, bukan dalam kenyataan.
Al-Asfahani dalam kitabnya yang berjudul Mu'Jam Mufradat li Alfadz Al-Qur'an, memberikan penjelasan bahwasanya untuk mendapatkan kebahagiaan seseorang harus meraih kesuksesan, keberhasilan dan kemenangan. Kebahagiaan terbagi menjadi 2; bersifat duniawi dan bersifat akhirat. Merujuk pada Al-Qur'an, kebahagiaan di dunia merupakan kebahagiaan loncatan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi di akhirat setelah kematian di dunia.
Tafsir Surah Hud ayat 105
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ اِلَّا بِاِذْنِهٖۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَّسَعِيْدٌ
“Ketika hari itu datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia.” (QS. Hud: 105)
Quraish Shihab dalam karyanya tafsir Al-Misbah, memberikan penjelasan, kebahagiaan ataupun kecelakaan tidak dapat ditentukan, karena kita selaku hamba hanya dapat mengira-ngira apa yang akan terjadi. Dari banyaknya list harapan kebahagiaan yang sudah kita rencanakan untuk masa depan, satu-satunya kepastian diantara banyaknya kepastian yang tidak pasti tersebut adalah kematian. Agar manusia merasakan kebahagiaan, hendaklah ia mencintai segala sesuatu yang ada dalam hidupnya, maksudnya ialah melihat kehidupan ini dari sisi positifnya dan menjalani dengan penuh cinta, dengan demikian akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Buya hamka dalam tafsir Al-Azhar memberikan penjelasan dengan perumpamaan seorang Pelajar yang menunggu kelulusan dengan perasaan berdebar, apakah pelajar tersebut diterima atau justru gagal dalam ujian kelulusannya dan harus mengulang disemester yang akan datang. Padahal ada yang lebih mendebarkan daripada hal demikian, yaitu kelak di akhirat. Kita sebagai manusia bias merencanakan kebahagiaan apa yang ingin kita capai di dunia, tetapi kita selaku hamba juga hanya bias menunggu keputusan nasib yang akan ditentukan oleh Tuhan. Apakah ada agaknya amal perbuatan kebaikan selama di dunia di terima, manakah agaknya yang berat di timbangan, kejahatan atau kebaikan? Nerakakah yang menjadi tujuan akhir ataukah Surga? Apakah hukuman sekian ribu tahun akan diberikan diskon oleh Tuhan? Apakah diantara yang diberikan hukuman tersebut, setelahnya akan dipindahkan ke surga? Itu semua terserah kehendakNya Allah saja, tidak ada kekuasaan yang mampu mempengaruhi dan mencampurinya. Bukankah ini semua lebih mendebarkan hati daripada menunggu keputusan yang belum pasti?
Buya Hamka menyatakan bahwa setiap orang berbeda-beda dalam memandang kebahagiaan, kebahagiaan inilah yang senantiasa dicari oleh setiap orang. Namun sayangnya, banyak yang tersesat akibat tidak mengetahui bahagia itu apa. Mungkin bagi sebagian orang di era sekarang ini, kebahagiaan itu terletak pada banyaknya harta. Namun sesungguhnya orang yang memahami konsep bahagia dengan hal demikian, hal tersebut merupakan sebuah keputus-asaannya dalam kemiskinan. Kenapa bisa terjadi demikian? Sebab pendapatnya tak pernah didengarkan orang lain karena miskin, sehingga yang menjadi tolak ukur bahagia tersebut adalah harta, bukan yang lainnya.
Wahbah Zuhaili mengemukakan di antara mereka yang berkumpul ada yang bahagia dan ada yang celaka, karena pada hari itu manusia dikumpulkan, lalu ada yang mendapatkan azab karena kedurhakaannya atas perintah Tuhan, dan ada yang memperoleh kebahagiaan dengan mendapatkan nikmat di dalam surga karena keimanan dan keistiqomahannya dalam menjalankan perintah Tuhan.
فَرِيْقٌ فِى الْجَنَّةِ وَفَرِيْقٌ فِى السَّعِيْرِ
“…Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (QS. Asy-Syura: 7)
Barangsiapa yang berbuat keburukan, menginginkan keburukan, dia akan termasuk golongan orang-orang yang celana. Barangsiapa yang menginginkan kebaikan, dia melakukan kebaikan, maka dia termasuk orang-orang yang berbahagia.
Pada intinya, salah satu jalan kebahagiaan itu adalah agama, Dalam mencari kebahagiaan, sehebat apapun kita memegang kemudi bahtera menuju pelabuhan yang dicita-citakan, namun yang menentukan arah angin tetaplah Dia (Tuhan). Sebelum sampai ke tempat pemberhentian, janganlah cepat puas dan gembira.
_____
Semoga bermanfaat
Post a Comment for "Kebahagiaan Sejati: Tidahanya tentang Harta"