Upaya Membangun Komunikasi yang Beradab: Perspektif Islam | #1
Di era saat ini begitu mudahnya untuk melakukan komunikasi, sebagaimana halnya mengakses berita atau informasi yang ingin dibaca dapat dilakukan oleh siapa saja, dan untuk melakukan penyebaran informasi dapat dilakukan dengan mudah sehingga dibaca oleh orang-orang. Proses komunikasi saat ini tidak hanya terjadi melalui dunia nyata, tetapi juga terjadi di dunia maya. Unsur terpenting dalam komunikasi diantaranya ialah Komunikator sebagai penyampai pesan, Komunikan sebagai pihak yang menerima pesan, dan Pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Namun ada hal lain dari 3 unsur tersebut, yaitu teknik atau cara dalam menyampaikan pesan. Karena terkadang, atau bahkan cara penyampaian lebih penting dari isi yang disampaikan.
Hal tersebut dapat kita gambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar ilmu agama (hijrah), diantara materi kajian yang didengar olehnya dalam kajian tersebut adalah “Setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit.” Setelah mendengar kalimat ini, yang terlintas dibenaknya adalah orang tuanya yang masih lalai mengerjakan shalat. Lalu apa yang terjadi? Anak tersebut bermaksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanya, “Pak, Bapak sudah setua ini, sudah punya anak, punya cucu, tapi kok masih sering lalai melaksanakan shalat? Apa bapak gak takut neraka dan gak percaya neraka?
Maksudnya benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan justru merendahkan orang tua, terlebih lagi jika disampaikan menggunakan intonasi yang tinggi. Ini merupakan contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.
Komunikasi yang beradab hakikatnya merupakan sebuah proses untuk menyampaikan sebuah kebenaran untuk membangun hubungan sosial antara penyampai dan penerima pesan agar tidak terjadi miskomunikasi, karena jika terjadi miskomunikasi akan menyebabkan berpalingnya si penerima pesan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surah Ali Imran ayat 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.”
Meskipun ayat ini diturunkan secara khusus kepada Rasulullah, namun secara umum dimaksudkan untuk memberikan nilai pendidikan. Dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa jika sekiranya kamu (Muhammad) bersikap keras atau punya akhlak yang buruk atau tidak terpuji maka mereka akan pergi meninggalkanmu.
1. Komunikasi kepada yang lebih tua
Berbicara dengan adab yang sopan serta santun merupakan tuntunan seseorang yang harus dilakukan ketika melakukan aktivitas berbicara kepada orang lain, terutama yang lebih tua dari kita. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bagaimana tatacara berbicara kepada orang yang lebih tua, yaitu dalam QS. Al-Isra’ ayat 23
۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua yang Islam, perlu sopan santun baik dalam perkataan maupun perbuatan yang sesuai dengan adat istiadat masyarakat.
Ayat ini tidak hanya mensyaratkan apa yang ingin disampaikan kepada orang tua, tidak hanya benar dan tepat, tetapi juga harus yang terbaik. Sekalipun orangtua membuat kesalahan terhadap anak, kesalahan tersebut harus dianggap tidak ada dan bahkan dimaafkan oleh anak.
2. Komunikasi kepada yang sederajat
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.”
Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berbicara secara efektif (qawlan baligha), dan melarang melakukan komunikasi yang tidak efektif, keterangan yang memperkokoh kesimpulan ini ialah hadis nabi yang berbunyi “Katakanlah dengan baik bila tidak mampu maka diamlah”.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, Qaulan Baligha merupakan berkomunikasi dengan cara memberikan nasihat, menyampaikan penjelasan-penjelasan yang mampu memberikan pengaruh yang kuat kepada hati nurani si pendengar, sehingga tergerak hatinya untuk menerima pesan yang disampaikan.
3. Komunikasi kepada yang lebih muda
۞ قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ غَنِيٌّ حَلِيْمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.”
Fenomena “Pinjam Dulu Seratus agar Tali Silaturahmi Tidak Terputus” memang meresahkan, lebih meresahkan lagi apabila tidak dapat seratus, melainkan hujatan serius.
Ayat ini menekankan pentingnya ucapan yang menyenangkan dan pemaafan, perkataan yang baik sesuai dengan budaya di masyarakat merupakan ucapan yang tidak menyakiti hati peminta bantuan, seperti berkata “dasar peminta-minta, punya kaki punya tangan kerja dong” maupun yang berkaitan dengan hal tercela lainnya. Berkata dengan ucapan yang baik kepada para peminta bantuan merupakan suatu hal yang lebih baik, daripada memberinya kemudian mencela. Hal tersebut lebih baik daripada memberikan bantuan tetapi setelahnya mengerluarkan perkataan yang menyakitkan hatinya.
Post a Comment for "Upaya Membangun Komunikasi yang Beradab: Perspektif Islam | #1"