Mungkinkah Manusia mengetahui Sesuatu? | MENALAR EPISTEMOLOGI 1
Kalau Islam itu adalah tunggal, apakah epistemologi yang digunakan sebagai pijakan dalam memahami Islam itu juga harus tunggal? Jika tidak tunggal, lalu apa makna dibaliknya tersebut?

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni episteme
yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu.
Epistemologi berarti teori ilmu atau pengetahuan.
Epistemologi bukanlah sebuah permasalahan yang muncul pertama
dalam tradisi pemikiran manusia. Dahulu, aktivitas berpikir manusia terutama
filsafat, dimulai dari wilayah mencari hakikat dari segala yang ada. Diantara
pertanyaan yang muncul saat itu adalah, Apa itu Tuhan? Apa yang dimaksud dengan
dunia? Apa itu jiwa? Akan tetapi jawaban yang didapatkan sangat beragam, dan
bahkan jawaban yang tersebut saling bertentangan antara yang satu dengan yang
lain.
Melalui permasalahan ini, mereka sampai kepada pertanyaan
yang tidak lagi mengarah pada dunia luar. Pertanyaan itu justru mereka arahkan ke
dalam aktivitas itu sendiri. Mungkinkah manusia mengetahui sesuatu? Jika mengetahui,
bagaimana cara mengetahuinya?
Menurut Harold, terdapat tiga permasalahan pokok dalam
epistemologi. Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? dari manakah yang
benar-benar pengetahuan itu datang? Lalu bagaimana kita mengetahuinya? Ini
adalah persoalan tentang “asal” pengetahuan.
Kedua, apa watak dari pengetahuan itu? apakah ada dunia yang
benar-benar di luar pikiran kita, jika ada apakah kita bisa mengetahuinya? Ini
adalah persoalan tentang “apa” yang kelihatan (reality).
Ketiga, apakah pengetahuan kita benar (valid)? Bagaimana kita
dapat membedakan pengetahun tersebut benar atau tidak? Ini adalah persoalan
tentang mengkaji kebenaran.
Persoalan diatas tersebutlah yang menjadi pintu masuk mereka ke dalam ranah epistemologi.
Mungkinkah manusia mengetahui sesuatu?
Ada dua aliran utama yang lahir dari pertanyaan yang
bersifat mendasar-filosofis ini, dan keduanya mempunyai aliran pecahan atau
cabang-cabang tersendiri. Pertama, aliran yang meyakini bahwasanya manusia itu
mungkin mengetahui, keyakinan ini disebut sebagai aliran I’tiqadiyyun. Kedua,
aliran yang meragukan bahwa itu manusia mengetahui, aliran ini disebut aliran syak
(keraguan).
1. Aliran I’tiqadiyyun (keyakinan)
Dalam konteks epistemologi, terdapat dua pengertian
keyakinan: pertama, keyakinan yang berkaitan dengan kenyataan (al-yaqin al-waqi’
au al-thabi’i), yakni keyakinan yang pasti berhubungan dengan objeknya yang
bersifat empiris, seperti pernyataan “sesungguhnya langit itu akan menurunkan
hujan”. Kedua, keyakinan yang bersifat ilmiah (al-yaqin al-ilmi), yakni
keyakinan yang pasti yang berhubungan dengan persepsi mengenai kebenaran
aksiomatik dan kebenaran teoretis.
Dalam aliran epistemologi berbasis keyakinan ini terbagi
pula menjadi dua aliran: rasional dan empiris.
Epistemologi Rasional. Ada tiga proposisi kunci dalam
epistemologi rasional, yakni mempercayai adanya kebenaran (objek), manusia
diyakini mungkin mengetahui kebenaran tersebut, sedangkan alat pengetahuannya
berupa akal. Seseorang yang berpegang pada epistemologi rasional ini meyakini
kebenaran bisa ditemukan oleh akal sebelum adanya pengalaman. Sebab dalam akal
terdapat ide-ide yang dengannya seseorang dapat memikirkan kebenaran tanpa
harus menghiraukan realitas di luar akal itu. Karena sumber pengetahuan yang cukup
dan dapat dipercaya menurut penggagas epistemologi rasional hanyalah akal yang
dinilai mempunyai syarat sebagaimana yang dituntut oleh pengetahuan ilmiah,
yaitu bersifat umum dan mutlak.
Epistemologi rasional tidak secara mutlak menolak nilak
pengalaman. Hanya saja, ia meletakkan pengalaman sebagai perangsang dari akal sebagai
peneguh kebenaran yang sudah dicapai oleh akal.
Epistemologi Empiris. Ada tiga proposisi kunci pada
epistemologi empiris, yakni meyakini adanya kebenaran (objek), manusia diyakini
mungkin mengetahui kebenaran itu, sedangkan alat pengetahuannya berupa indra. Berbeda
dengan rasional, epistemologi empiris menjadikan indra beserta pengalamannya
sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Epistemologi empiris berpendapat
bahwasanya pengetahuan berasal dari pengalaman, sedangkan yang mengalami adalah
indra. Indra merupakan satu-satunya alat yang dapat menghubungkan manusia
dengan dunia luar. Tanpa indra, akan dianggap tidak ada bahkan keberadaanya
samar. Jikalau indra salah, ia dapat mengetahuinya dengan melakukan eksperimentasi.
Dengan prinsip tersebut, epistemologi empiris berpendirian semua
pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman indrawi. Jika sesuatu itu
tidak dapat dilacak oleh indrawi, maka dianggap tidak ada dan hasilnya bukan
pengetahuan.
Bagi empirisme, akal diletakkan dalam kerangka pengalaman.
Sebab, pengalaman itu lahir dari rangsangan objek luar terhadap indra yang
kemudian diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan tadi akan dipahami
sebagaimana adanya, kemudian dibentuklah anggapan-anggapan atas objek tersebut.
Atas dasar itu para penganut empirisme menilai akal hanya mengikuti
eksperimentasi. Akal tidak memiliki apapun untuk mengetahui kebenaran kecuali
dengan perantara indra. Sebab, tanpa indra kenyataan tidak dapat diserap oleh
akal.
2. Aliran berbasis pada Syak (keraguan)
Istulah keraguan merupakan terjemahan dari bahasa Arab, syak.
Syak merupakan lawan dari al-yaqin. Dari segini istilah, syak adalah kondisi
bimbang diantara dua hal yang berlawan, tanpa adanya kecenderung kepada salah
satu diantaranya.
Prinsip utama epistemologi syak ini adalah meragukan manusia mampu mengetahui kebenaran (objek). Namun, mereka mempunyai sikap yang berbeda mengenai unsur-unsur epistemologi, seperti mengenai adanya kebenaran dan siapa atau alat apa yang bisa mengantarkannya mengetahui dan menemukan kebenaran.
Bersambung
___
Sumber: Satu Islam Ragam Epistemologi
Post a Comment for "Mungkinkah Manusia mengetahui Sesuatu? | MENALAR EPISTEMOLOGI 1"