Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Taqlid Menurut Para Imam Madzhab

Saking bahanya masalah taqlid, para imam madzhab pun sampai mengecam keras tindakan taqlid ini. Berikut ini adalah fatwa para imam madzhab mengenai taqlid:

Taqlid Menurut Imam Abu Hanifah Rahimahullah berkata:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِى.

“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”

لاَ يَحِلُّ لِاَحَدٍ اَنْ يَاءْخُدَ بِقَوْلِنَا مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَدْنَاهُ.
وَفِى رِوَايَةٍ : حَرَامٌ مَا لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِى أَنْ يُفْتِيَ بِكَلَامِى.
زَادَ فِى رِوَايَةٍ : فَإِنَّنَا بَشَرٌ نَقُوْلُ الْقَوْلَ الْيَوْمَ وَ نَرْجِعُ عَنْهُ غَدًا
.

“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat/ucapan kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya. Dan dalam satu riwayat: Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku untuk menfatwakan ucapanku. Ia menambahkan dalam suatu riwayat: Sesungguhnya kami adalah manusia biasa, hari ini mengucapkan sesuatu dan kemungkinan besok mencabutnya kembali”.

إِذَا قُلْتُ قَولاً يُخَالِفُ كِتَابَ اللّهِ وَ  خَبَرَ الرَّسُوْلِ فَاتْرُكُوْا قَوْلِى – صفة صلاة النبيّى: 25
“Jika aku mengucapkan sesuatu yang menyalahi Kitab Allah & Khabar Rasulullah SAW, maka tinggalkanlah ucapan itu”. (Shifatu Shalati al-Nabi, hal: 25)

Taqlid Menurut Imam Malik bin Anas Rahimahullah berkata:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَ أُصِبُ فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِ، فَكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَ كُلُّ مَالَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَاتْرُككُوْهُ
.

“Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia, (kadang) salah dan (kadang) benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap yang cocok dengan Quran dan Sunnah, maka ambillah olehmu, dan setiap yang tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah, maka tinggalkanlah”.

لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ إِلاَّ وَ يُؤْخَدُ مِنْ قَوْلِهِ وَ يُتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيِّ.

“Tidak ada seorangpun selain Nabi Muhammad SAW kecuali ucapannya boleh di ambil dan boleh di tinggalkan”.

Taqlid Menurut Imam Syafi’i Rahimahullah berkata:

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللَهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.

“Telah sepakat umat Islam, manakala sudah jelas Sunnah Rasulullah SAW, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan nya hanya karena ucapan seseorang”
إِذَا وَجَدْتُمْ فِى كِتَابِ خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللّهِ فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللّهِ وَ دَعُوْا مَا قُلْتُ . وَفِى رِوَايَةٍ: فَاتَّبِعُهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ
.

“Jika kamu mendapatkan dalam kitabku (sesuatu) yang menyalahi Sunnah Rasulullah, maka katakanlah Sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan”. Dalam satu riwayat: “Ikutilah Sunnah Rasulullah SAW dan janganlah menoleh pada ucapan seseorang”.

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِى.

“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”.
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللّهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَ بَعْدَ مَوْتِى.

“Setiap masalah yang telah nyata shahihnya sebuat hadits dari Rasulullah –menurut ahli hadits- tetapi menyalahi apa yang aku katakan, maka aku akan kembali, baik di masa hidupku atupun di masa setelah aku mati”

إِذَا رَأَيْتُمُونِى أَقُولُ قَولًا وَ قَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوْا أَنَّ عَقْلِى قَدْ ذَههَبَ.

“Apabila kamu melihat aku mengucapkan sesuatu padahal telah jelas ada hadits shahih dari Nabi SAW yang menyalahi ucapanku, maka ketahuilah sesungguhnya akalku telah hilang”.

كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِى وَ إِنْ لَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّى. – صفة الصلاة النبيّ: 29

“Setiap hadits dari Nabi SAW adalah ucapanku, meskipun kamu tidak mendengarnya dariku”. (Shifatu Shalati al-Nabi, hal: 29)

Taqlid Menurut Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah berkata:

لاَ تُقَلِّدْنِى وَلاَ تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِيَّ وَلاَ الْاَوْزَاعِيَّ وَلاَ الثَّوْرِيَّ، وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا.

“Janglah kau taqlid padaku, dan jangan pula taqlid kepada imam Malik, Syafi’i, Auza’i, serta Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil”.

لاَ تُقَلِّدْ دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هَؤُلآءِ مَا جَأَ عَنِ النَّبِيِّ وَ أَصْحَابِهِ فَخُذْ بِهِ ثُمَّ التَّابِعيْنَ بَعْدُ، الرَّجُلُ فِيْهِ مُخَيَّرٌ. وَقَالَ مَرَّةً: اَلاِتِّبَاعُ؛ أَنْ يَتَّبِعَ الرَّجُلُ مَا جَأَ عَنِ النَّبِيِّ وَ عَنْ أَصْحَابِهِ ثُمَّ هُوَ بَعْدَ التَّابِعيْنَ مُخَيَّرٌ – صفة صلاة النبيّ : 31

“Janganlah kamu taqlid kepada seseorang dalam agama kamu, apa-apa yang datang dari Nabi SAW dan sahabatnya, ambillah. Kemudian para tabi’in & setelahnya (tabi’in) seseorang boleh memilihnya. Di lain waktu/kesempatan, ia berkata: “Ittiba’ itu adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi SAW dan para sahabatnya, kemudian setelah tabi’in boleh memilihnya". (Shifatu Shalati al-Nabi, hal: 31)

Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga tahapan keilmuan dalam beribadah, yaitu:
  • IJTIHAD (orangnya disebut Mujtahid) adalah : orang yang mampu menganalisa atau mengambil kesimpulan sendiri dari sumbernya, yaitu dari Al Quran dan as Sunnah.
  • ITTIBA’ (orangnya disebut Muttabi') adalah : orang yang mengikuti keterangan atau dalil yang di bawakan oleh para ulama, ia tidak mengikuti orangnya tetapi mengikuti dalil yang di bawakannya.
  • TAQLID (orangnya disebut Muqallid) adalah : orang yang beribadah dengan tidak mengetahui dasar hukumnya tetapi cukup dengan mengikuti perilaku orangnya.

Dengan kata lain, muttabi’ adalah orang yang mengikuti dalilnya/keterangannya, sedangkan muqallid mengikuti orangnya bukan dalilnya, ia tidak penasaran untuk bertanya-tanya.

Sikap taqlid ini adalah perbuatan tercela, baik menurut Quran, Hadits Nabi atau fatwa para ulama. Dan hal itu merupakan gambaran orang yang tidak mau mencari ilmu padahal menuntut ilmu itu adalah WAJIB !!

Jadi, masuk ketegori manakah anda saat ini? Mujtahid? Muttabi’? ataukah (naudzubillah) Muqallid? jawab sendiri yaaaa~ 

Post a Comment for "Taqlid Menurut Para Imam Madzhab"